Perubahan iklim dipicu oleh pemanasan global dan meningkatnya emisi karbon. Upaya dalam mengantisipasi agar hal tersebut tidak menjadi berkepanjangan, yaitu dengan menanam pohon, seperti mangrove dan menjaga lahan gambut.
PP No 57 tahun 2016 mengartikan gambut sebagai material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada daerah rawa.
Pada harkatnya lahan gambut adalah lahan basah (wetland) yang materi penyusunnya berupa bahan organik yang miskin hara dengan kondisi selalu tergenang.
Lahan gambut di Indonesia masuk dalam kategori gambut tropis yang terbentuk dari proses paludifikasi, dimana terjadi penebalan lapisan gambut akibat tumpukan material organik dalam kondisi tergenang air.
Gambut dalam kategori ini umumnya mengandalkan sumber air dari curah hujan, luapan sungai atau pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai dalam proses pembentukannya, sehingga lahan gambut sering ditemukan di daerah sungai, rawa, dan pesisir pantai.
Berdasarkan lokasinya, gambut pantai yaitu gambut yang terbentuk dekat pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut laut. Tanah gambut pantai mendapatkan pengayaan mineral dari air laut. Vegetasi gambut pantai didominasi oleh hutan mangrove.
Umumnya, pH gambut pantai lebih tinggi dan tanahnya lebih subur dibandingkan dengan gambut pedalaman, karena adanya pengayaan basa-basa dari air pasang surut, berbeda dengan gambut pedalaman yang tingkat keasamannya lebih tinggi, sehingga kandungan hara tanah gambut rendah walaupun kandungan bahan organiknya tinggi.
Banyaknya anggapan yang salah menyebut gambut sebagai lahan yang tidak berguna, sehingga harus dialihfungsikan dan dikeringkan agar bisa produktif, menjadi penyebab degradasi lahan gambut di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, alih fungsi dan pengeringan lahan gambut semakin masif dilakukan dalam skala luas, terutama oleh perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit dan akasia.
Alih fungsi lahan gambut yang diikuti dengan aktivitas pengeringan lahan menyebabkan gambut mudah terbakar, terutama pada saat musim kemarau. Gambut yang terbakar akan sulit untuk dipadamkan, karena api menjalar pada pori-pori lapisan bawah tanah gambut (ground fire) sampai kedalaman tertentu tergantung sedalam mana gambut tersebut kering.
Kebakaran gambut menyebabkan gas CO2, CO, NO2 dan gas rumah kaca lainnya terlepas ke atmosfer. Dampak dari kebakaran tersebut juga menyebabkan masyarakat yang terdampak oleh asap kebakaran mengidap penyakit gangguan ISPA dan kerugian secara materil.
Lahan gambut sebagai salah satu jenis lahan basah yang unik harus dijaga untuk dapat terus memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung, dan kepada mahluk hidup lainnya yang berada dalam satu ekosistem tersebut.
“Indonesia adalah negara tropis yang memiliki lahan gambut terluas di dunia, yang tersebar di tiga pulau yaitu Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Fungsi jasa lingkungan dari ekosistem gambut cukup vital karena lahan gambut merupakan penyimpan cadangan air, penyimpan stok karbon dan juga biodiversity.” Papar Ir. Nazir Foead, Dekan Fakultas Kehutanan UGM.
Berikut adalah beberapa peran penting dari lahan gambut:
1. Lahan basah ini berperan sangat penting dalam sistem hidrologi suatu kawasan. Gambut kerap kali disebut juga sebagai tandon air karena sifatnya yang mampu menyimpan air dalam jumlah besar.
Lahan gambut yang berkondisi baik dapat menyerap air ketika musim hujan sehingga banjir dapat dihindarkan. Sebaliknya, ketika musim kemarau, tanaman yang tumbuh di atasnya tidak akan mengalami kekeringan karena gambut akan melepaskan air.
2. Selain memberikan manfaat dari sisi ekologi, lahan gambut juga memiliki nilai sosial dan ekonomi khususnya pada masyarakat yang beririsan langsung pada lahan basah tersebut.
Kekayaan biodiversitas yang ada dalam hutan gambut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh komunitas masyarakat setempat seperti suku Dayak, suku Anak Dalam, suku Kubu, suku Banjar, suku Melayu dan komunitas adat lainnya yang tinggal di atas lahan gambut. Bagi mereka, lahan gambut berperan sebagai sumber kehidupan dan mendukung kebutuhan sandang, papan dan pangan mereka.
3. Gambut juga sangat berperan dalam mengendalikan perubahan iklim global karena kemampuannya sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau penyimpan karbon (carbon stock). Nilai stok karbon pada gambut sangat besar jika dibandingkan tipologi lahan basah lainnya.
Menurut Murdiyarso et.al, 2017, lahan gambut di Indonesia menyimpan karbon sekitar 55 PgC atau lebih dari 60% cadangan karbon gambut secara global. Sehingga lahan gambut menjadi salah satu dari ekosistem blue carbon atau karbon biru.
Ekosistem blue carbon yang terdapat di daerah pesisir sangatlah penting, karena dalam jangka panjang penyerapan dan penyimpanan karbon yang baik dan terjaga akan membantu dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Ekosistem karbon biru merupakan penyerap karbon paling efektif dibandingkan ekosistem lain, sehinggga pelestarian ekosistem karbon biru menjadi solusi alami terbaik sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Sumber: pantaugambut.id, Fakultas Kehutanan UGM
Comments