top of page
Gambar penulisPandu Laut Nusantara

Yan Suryana: Menyulap Barang Bekas Menjadi Sesuatu yang Bernilai Estetik

Diperbarui: 16 Des 2022


Yan Suryana memanfaatkan barang bekas menjadi sebuah karya seni. Foto: Yan Suryana.

Pemanfaatan barang bekas telah banyak dilakukan oleh para seniman dengan menyulapnya menjadi sesuatu yang bernilai estetik, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, namun hal itu masih belum membuka pikiran kreatif banyak masyarakat.


Umumnya, hal itu bermula tumbuh dari keresahan mereka (seniman) yang melihat alam dan lingkungannya kian hari kian memburuk akibat sampah, sehingga keresahan tersebut menciptakan pikiran-pikiran kreatif untuk mendayagunakan atau memanfaatkan barang bekas menjadi sesuatu yang bernilai estetik.


Salah satunya seperti Yan Suryana di antara banyak seniman-seniman lainnya. Menilik karya-karya Yan Suryana, ia berangkat dari ketidakmampuannya dulu untuk membeli perlengkapan alat lukis atau perlengkapan kesenian untuk menciptakan suatu karya, namun hal itu tidak menyurutkan langkah dan niatnya.


Ia memutar pikiran untuk bisa berkarya meskipun dengan ketidakmampuannya secara finansial untuk memenuhi perlengkapan tersebut, sehingga apa saja yang mengganggu alam dan lingkungan dalam penglihatannya, dipungut dan disulap menjadi sebuah karya seni yang indah dipandang.


“Saya bekas itu nggak dibuang bekas melukis itu, tak kumpulin semua, kita nggak buang sampahlah pokoknya, setrika, bekas mobil, sandal jepit, kita kumpul semua,” tuturnya.


Sementara itu, barang bekas pada umumnya menjadi barang yang tidak terpakai lagi, hanya tergeletak usang. Barang bekas yang dulunya berawal dari bahan mentah hingga menjadi bahan jadi itupun pernah menjadi prioritas dalam berbagai kebutuhan manusia di satu waktu.


Adapun hakikat sifat manusia yang tidak pernah merasa puas akan sesuatu, menyudutkan barang-barang bekas tersebut dan menggantinya dengan barang baru sesuai perkembangannya, akibatnya terjadi penumpukan barang-barang bekas tersebut dan dibuang begitu saja, karena dianggap tidak berguna lagi.


Mengutip laman resmi Pemerintah Kota Surakarta, terdapat tiga jenis-jenis sampah, diantaranya sampah organik, anorganik, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sampah organik adalah sampah yang dikategorikan bisa membusuk atau terurai dengan sendirinya. Sementara, sampah anorganik diartikan sebagai bahan tidak terpakai yang sukar membusukdan sulit terurai.


Selain itu, sampah dari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Jenis sampah B3 diantaranya cairan pembersih kaca/jendela, pembersih lantai, pengkilap kayu, pengharum ruangan, pemutih pakaian, deterjen pakaian, pembasmi serangga, batu baterai, dan lain-lain.


Banyak manfaat yang dapat diraih dari alam yang bersih, yaitu mampu menciptakan ruang-ruang tak terduga, seperti ruang kedamaian, ruang berpikir jernih, bahkan ke berbagai aspek ruang yang berakar seperti perekonomian, spiritual, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Hal tersebut membawa kita kepada hubungan timbal balik antara manusia dengan alam, serta makhluk hidup lainnya.


Potret seniman Yan Suryana. Foto: Facebook/Yan Suryana.

Profil Singkat Yan Suryana


Lahir di Bandung, Jawa tahun 1956, Yan Suryana telah menjadi seniman profesional sejak tahun 1980. Pameran bersama Affandi pada tahun 1986 menjadi titik balik, setelah karyanya menjadi lebih kuat dan populer karena gaya khasnya terus berkembang.


Yan mengatakan, awalnya terasa berat menjalani profesi sebagai seorang seniman lukis, apalagi orang tuanya melarangnya untuk berkesenian yang tidak jelas hidup dan masa depannya secara finansial.


Hidup yang serba kekurangan dan terlahir dari keluarga yang tidak mampu, tidak menyurutkan dan mengurungkan niatnya untuk menyalurkan bakat seni yang terpatri di jiwanya itu. Ia tetap melukis menggunakan alat seadanya, seperti memanfaatkan arang, batu kapur, dan lainnya.


"Jiwa seni yang ada pada diri saya sudah ada sejak kecil. Apa yang saya raih saat ini semua mengalir begitu saja, tidak pernah didapat lewat sekolah formal. Mengingat keterbatasan ekonomi keluarga, niat untuk melanjutkan ke sekolah seni tidak dapat terpenuhi akibat tidak ada biaya." jelasnya.


Adapun perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku berbagai rintangan tersebut, termakhtub dalam buku biografinya yang digarap oleh Agus I Prawira dan diluncurkan pada Desember 2005. Menariknya, dalam proses penciptaan buku tersebut, salah seorang penyair terkemuka di Indonesia W.S. Rendra ikut andil sebagai penasihat.


Selain itu, ia bepergian ke seluruh Indonesia untuk mempelajari beragam orang, budaya dan adat istiadat negaranya untuk mendapatkan inspirasi. Ia tinggal selama dua tahun di Austria dan sering bepergian ke Eropa dan Amerika.


Yan Suryana menetap di Bali karena hubungan kuat pulau legendaris itu dengan seni, dan inspirasi yang ia dapatkan dari warna dan drama kehidupan sehari-hari orang Bali yang tak ada habisnya.


"Di mana pun Anda melihat, ada seni," dia antusias. “Itu ada dalam segala hal–dalam tarian, upacara, persembahan. Bali adalah seni yang hidup.” katanya.


Suryana sekarang tinggal di desa Petulu dekat Ubud di Bali, Indonesia bersama istrinya yang berkebangsaan Austria. Melalui pernikahan tersebut, Yan memperkuat ikatannya dengan Austria. Sosok Marina merupakan sosok yang memanajemen hidup Yan dalam berkarya, seperti memanajemen berbagai pemerannya di dalam maupun luar negeri. Lukisan Yan Suryana telah menghiasi rumah para kolektor di Indonesia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.


Adapun palet abu-abu dan putih musim dingin kadang-kadang hadir dalam lukisan Suryana, tetapi setelah melihat karyanya, menjadi jelas bahwa ini bukanlah yang dikenal oleh seniman tersebut. Kanvas-kanvasnya penuh dengan warna merah jambu, kuning, oranye, biru, dan hijau yang cerah.


Orang-orang yang dia gambarkan-yang merupakan titik fokus sebenarnya dari lukisannya-mengenakan kostum bermotif cerah dengan bangga dan penuh semangat. Warna Suryana yang berani, eksotis, dan tropis menjadi ciri khasnya. Dia menghadirkan orang Bali-wanita dengan rambut hitam panjang tergerai dan pria dengan penampilan yang damai, penuh perasaan, cerdas yang sering dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di desa kecil-dengan cara yang intim dan penuh kasih. Suryana menghormati, hampir mengagumi, orang Balinya.


Pemanfaatan barang-barang bekas yang akan disulap menjadi sebuah karya seni. Foto: Yan Suryana.

Selama lima tahun terakhir, Yan Suryana dalam karyanya sering menggunakan barang bekas perabotan, seperti gelas, kayu, besi, serta onderdil-onderdil kendaraan.


“Kita punya gudang yang hampir penuh botol, sampai sekarang museum saya museum sampah ya, kita bikin museum, museum sampah, jadi dari botol, kayu bekas, barang-barang yang orang nggak kepakai, seperti pelek bekas motor, sepeda-sepeda anak-anak.” jelasnya.


Salah satu karya Yan Suryana dalam pemanfaatan botol bekas. Foto: Facebook/Yan Suryana.

Karya-karya Suryana ini memiliki dasar yang kuat dengan kultur-kultur di Indonesia, terkhusus kultur Bali, karena kecintaannya kepada alam dan budaya Bali yang kaya akan seninya.


“Seperti saya pameran di Austria atau di Jerman, kita selalu bikin nasi goreng, mie goreng, terus ada tari Bali, ada tari topeng Cirebon,” ujarnya.


Ia menambahkan, hal itu sekaligus menjadi promosi budaya Indonesia, karena baginya bagaimanapun Indonesia, ia tetap mencintai Indonesia.


“Biar matahari timbul di utara, tetap Indonesiaku.” pungkasnya.


Adapun untuk barang-barang bekas, ia memanfaatkannya untuk menciptakan sebuah karya yang notabenenya akan dipajang di museum miliknya. Barang bekas tersebut merupakan project untuk museum sampahnya.


“Barang-barang bekas ini belum ada yang dijual, sampai bikin bulls, bikin gitar, karena itu buat museum sampah itu, buat isinya nanti.” katanya.


Faktor pendorong Suryana dalam pemanfaatan sampah bekas atau barang bekas terhadap karyanya tersebut dipicu oleh pencemaran lingkungan yang kian memburuk, seperti pencemaran pantai-pantai oleh sampah yang membuat matanya kian geli memandang hal itu.


“Dulu ya saya misalnya jalan-jalan di pantai ya, terus nemu apa aja, kerang, atau bekas jaring tukang mancing, terus saya tempelin, kolase ya, terus orang senang,” jelasnya.


Hal itulah yang memicu seorang seniman mancanegara ini berkarya melalui pemanfaatan sampah dan barang bekas tersebut, juga sebagai bentuk perihatinnya akan minimnya kesadaran masyarakat mengenai peduli lingkungan.


“Rawatlah lingkungan sebisa mungkin, kalau bisa Indonesiakan gotong royong, supaya barang-barang bekas plastik, atau botol, janganlah dibuang, kumpulin aja, nanti juga ada gunanya.” kata Yan.

Suryana menambahkan, “Untuk anak-anak muda, berkreatiflah, jangan banyak dipikirkan bahan atau bermasalah. Jadi, pintar itu tidak usah yang mahal-mahal, bisa juga yang murah.” tambahnya.

49 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page