Bahan bakar minyak (BBM) merupakan persoalan pokok bagi nelayan dalam mengais rejeki di lautan. Namun, tak sedikit nelayan yang mengeluhkan kesulitan untuk mendapatkannya, akibatnya nelayan tak bisa melaut, sedangkan kebutuhan harus dipenuhi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengungkapkan, 82% nelayan kecil dan tradisional kesulitan mendapatkan akses bahan bakar minyak dan LPG bersubsidi.
Hal tersebut dirujuk dari survei bersama yang dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Internasional Budget Partnerships (IBP), Perkumpulan Inisiatif, dan Seknas FITRA.
Survei dilakukan pada 1 April sampai 21 Mei 2021 di 10 provinsi, 25 kota, dengan jumlah responden 5292 nelayan kecil dan tradisional.
"Problemnya memang 82% ini sulit mengakses BBM kemudian 21,57% sulit mengakses pasar, dan 2% sulit mengakses pembiayaan," katanya.
Menurut Tauhid, berdasarkan survei tersebut 62,84% nelayan sulit mengakses administrasi kenelayanan, sehingga akses terhadap bantuan menjadi lebih sulit.
Tauhid menambahkan, menurutnya data survei menunjukkan bahwa BBM telah menjadi masalah utama bagi nelayan agar tetap bertahan menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Banyak nelayan mengeluhkan kesulitan dalam mendapatkan BBM bersubsidi. Berikut beberapa kasus yang telah dirangkum:
Kenaikan harga BBM menjadi ujung tombak kenaasan bagi nelayan, karena kesulitan dalam mendapatkan BBM bersubsidi.
Di samping itu, BBM tidak dapat diakses dengan mudah lantaran sejumlah aturan dan ketentuan, semisal surat rekomendasi pembelian BBM untuk nelayan kecil.
Kemudian di Kabupaten Merauke, kuota BBM bersubsidi jenis solar untuk para nelayan sebanyak 200 ton perbulan. Hal tersebut tak sebanding dengan jumlah armada yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
Sementara itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Merauke melalui Dinas Perikanan berinisiatif, BBM hanya akan diberikan kepada kapal yang melapor kedatangan melalui data Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Sedangkan yang tidak melapor, tidak diakomodir BBMnya.
"Ke depan, untuk kapal yang masih di laut tidak bisa kita proses untuk penyediaan BBM bersubsidi. Apa lagi yang tidak lapor ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke, kita tidak distribusikan bahan bakar subsidi solar," ujar Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Merauke Leunard Rumbekwan, di Merauke, Rabu (18/1/2023).
Adapun berdasarkan kebutuhan yang sesungguhnya dihitung dari jumlah 579 unit armada kapal di bawah 30 GT yang ada seharusnya dibutuhkan sekitar 1.077 ton perbulan.
Selain itu, kasus lainnya, nelayan ditolak isi BBM di SPBU. Seperti yang terjadi pada ribuan nelayan di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) terpaksa tidak melaut, lantaran ditolak SPBU saat membeli bahan bakar untuk perahu motor.
Ketua Himpunan Nelayan Sulteng Rahman Jaya mengatakan, penolakan terjadi karena nelayan membeli BBM hanya mengandalkan jeriken.
Meskipun pembelian BBM diizinkan menggunakan jeriken, asalkan harus menggunakan surat pengantar dari pemerintah daerah setempat. Namun kata Rahman, hal ini belum diakomodir untuk nelayan di wilayah Palu.
Menurut Rahman, berdasarkan UU No 7 Tahun 2016 sudah ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyediakan fasilitas nelayan termasuk BBM.
"Nah, itu (surat rekomendasi) yang belum terakomodir, kalau bisa ya disediakan Pertamina khusus nelayan," katanya.
Persoalan lainnya, menilik minimnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di berbagai daerah pesisiran pantai.
Padahal dengan adanya SPBN di setiap titik daerah, sangat membantu nelayan mendapatkan BBM dengan mudah, sehingga nelayan tak membeli bahan bakar ke pedagang eceran yang harus mengeluarkan biaya tambahan, bahkan dua kali lipat dari harga subsidi.
Selalu luput dari perhatian sarana prasarana, infrastruktur dasar penyaluran BBM, yakni SPBN masih minim.
Sehingga, seberapa banyak pun kuota BBM yang pemerintah alokasikan, tanpa sarana prasarana yang memadai, maka nelayan akan membeli BBM secara eceran, karena jumlah di SPBN masih terbatas.
Senada dengan itu, nelayan tradisional di Kuala Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur kesulitan mendapatkan BBM, sehingga mereka terpaksa membeli solar semi subsidi dari oknum agen liar dengan harga Rp8.500-10.000 perliter.
"Sangat susah dapatkan minyak solar subsidi, bahkan minyak solar sering langka di SPBU, mirisnya kami nelayan harus antri berhari-hari baru dapat minyak," keluh seorang nelayan yang meminta namanya dirahasiakan.
“Kami nelayan tidak pernah menikmati minyak subsidi, mungkin minyak subsidi itu bukan untuk masyarakat kecil,” tambahnya.
Selanjutnya, nelayan di Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung keluhkan kepada prajuru adat, lantaran kesulitan mendapatkan BBM untuk melaut, karena SPBN yang ada di Tanjung Benoa tak lagi menyediakan BBM jenis pertalite yang dibutuhkan nelayan.
Bendesa Adat Tanjung Benoa Made Wijaya menjelaskan, cikal bakal berdirinya SPBN di Tanjung Benoa adalah untuk memenuhi kebutuhan nelayan (26/1/2023). Namun setelah berdiri, beberapa bulan terakhir ini tidak lagi menyediakan BBM jenis pertalite.
Alasan tidak dijual kembalinya pertalite itu karena adanya perubahan status dari SPBN menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN).
“Perubahan status ini langsung dibeberkan oleh management sendiri, sehingga keberadaannya bukan lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan para nelayan saja,” jelasnya.
Wijaya menjelaskan, pihak management beralasan karena selama ini stok pertalite lama habisnya, lantaran jumlah nelayan tangkap di Tanjung Benoa tidak banyak. Kebanyakan di antaranya notabene merupakan nelayan pariwisata.
“Jadi tadi mereka sudah berterus terang, kalau bertahan hanya menyediakan pertalite, secara perhitungan bisnis itu dirasa kurang menguntungkan, sehingga akhirnya diubahlah menjadi SPBUN,” kata Wijaya.
Kasus lainnya, Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari, menerima aspirasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kecamatan Sapeken, Sumenep, Madura, melalui platform virtual zoom pada Selasa (24/01/2023) lalu.
Adapun dalam pertemuan itu, nelayan mengeluhkan kelangkaan BBM khususnya jenis solar dan pertalite, dan harga BBM di daerah mereka lebih mahal dibanding harga nasional yang ditetapkan pemerintah.
Dalam pertemuan yang menghadirkan perwakilan Pertamina itu, Diah pun menyebut, untuk mengurangi kelangkaan yang terjadi, HNSI akan dilibatkan dalam proses distribusi.
"Pertamina menawarkan untuk bekerja sama dengan organisasi masyarakat, termasuk HNSI, dalam proses penyaluran dan pengawasan dalam distribusi BBM penugasan, seperti Solar dan Pertalite. Hal ini nantinya perlu ditindaklanjuti dengan komunikasi yang lebih intens antara Pertamina dan nelayan", pungkas Diah.
Dari beberapa kasus yang telah dirangkum, BBM seperti nyawanya para nelayan. Jika tak ada BBM, tak melaut, maka tak juga ada ikan untuk orang-orang, serta tak ada penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari.
Sumber: tempo.co, NusaBali.com, Beritasatu.com, Suara Merauke, ANTARA, Suara Indonesia, Sariagri.
Comments