Seekor dugong ditemukan mati terdampar oleh masyarakat setempat di pesisir laut Pantai Dungun, Desa Belungur, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), (10/1/2023).
“Duyung ini terdampar karena kuatnya angin dan gelombang utara,” kata salah seorang masyarakat Desa Dungun, Hasbullah.
Adapun kejadian seperti ini bukan pertama kali di Kampung Dungun. Pada tahun 2005, warga menemukan hewan yang diduga Gajah Mina, namun menurut peneliti hewan itu adalah Paus Balin.
Pada tahun 2019, dua ekor ikan paus ditemukan di kawasan sama. Paus yang masih hidup dilepasliarkan.
Kepala Desa Belungkur Arif Rafandi mengatakan, saat kejadian dirinya tidak berada di lokasi. Ia mengetahui adanya duyung terdampar setelah tersebar di media sosial.
“Informasi terakhir dugong tidak dikubur, tetapi sudah dijual dagingnya kepada penampung ikan,” katanya.
Penampung ikan mengatakan, daging dugong belum dalam keadaan busuk atau masih segar.
“Kalau sudah busuk, pasti warga menguburnya,” ujarnya.
Menurut Arif, penyebab dugong ini terdampar karena cuaca buruk beberapa bulan belakangan di Kabupaten Lingga. Cuaca ekstrem tersebut membuat dugong dihantam ombak sampai ke darat.
Arif juga mengakui, tidak mengetahui aturan seharusnya ketika mendapatkan kasus hewan mamalia laut terdampar.
“Mungkin harganya mahal, warga butuh uang, ya dijual saja,” katanya.
Akibat minimnya sosialisasi terkait hewan laut yang terdampar, masyarakat malah menjual dan mengkonsumsi daging dugong tersebut.
Peneliti Mamalia Laut Pusat Riset Oseanografi Badan Riset Dan Inovasi Nasional (BRIN) Sekar Mira sangat menyayangkan tindakan masyarakat di Kabupaten Lingga yang menjual daging dugong terdampar.
Hal itu jelas melanggar Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bahkan seluruh mamalia laut, dilindungi penuh oleh undang-undang.
Meskipun dugong ditemukan dalam keadaan mati. Tetap saja tidak boleh diperjualbelikan hingga dikonsumsi.
“Yang hidup saja tidak boleh, apalagi yang sudah mati,” ujarnya.
Menurut Sekar, dugong diperjualbelikan masyarakat karena minim sosialisasi. Apalagi Kabupaten Lingga yang terletak cukup jauh.
“Informasi yang saya dapat, di daerah ini (Lingga) sudah umum masyarakat mengkonsumsi dugong,” ujarnya.
Sementara itu, ia menambahkan, pemerintah harus segera mengatasi persoalan ini, terkhusus dengan cara sosialisasi.
Hal itu diharapkan karena sampai saat ini keberadaan dugong sudah sangat jarang ditemukan di Indonesia.
“Data IUCN menunjukan dugong berstatus vunerable (rentan). Selain langka dugong adalah satu-satunya jenis ordo sirenia yang tersisa di Indonesia,” katanya.
Selain itu, penindakan hukum juga harus ditegakkan kepada orang yang melanggar undang-undang tersebut.
Sekar mengatakan, selama ini banyak tumpang tindih kewenangan soal perlindungan mamalia laut. Lembaga bagian pendataan tidak bisa melakukan penindakan, sedangkan bagian penindakan tidak punya data.
Tumpang tindih ini mengakibatkan tidak adanya perlindungan yang adil terhadap hewan mamalia laut, salah satunya dugong.
Sumber: Mongabay.
Comments