JAKARTA (Pandu Laut) - Koalisi LSM Untuk Perikanan dan Kelautan (KORAL) mengadakan diskusi online mengenai dampak RUU (Omnibus Law) Cipta Kerja terhadap penegakkan hukum di bidang kelautan dan perikanan, pada Rabu (29/4). Ada beberapa perbedaan jika RUU tersebut jadi disahkan. Berikut beberapa pendapat tentang hal tersebut.
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Inititive (IOJI), Mas Achmad Santosa menyoroti 5 (lima) perubahan pengaturan sektor kelautan dan perikanan berdasarkan RUU CK.
· Pertama, resentralisasi kewenangan dari kementerian sektoral dan pemda ke pemerintah pusat namun tidak disebutkan dalam RUU ini wewenang oleh pemerintah pusat tersebut (presiden) akan didelegasikan kepada siapa.
· Kedua, penyederhanaan dan perubahan sistem perizinan, dari pendekatan izin menjadi sistem risk based approach/RBA yang menimbulkan kekhawatiran pada pengendalian eksploitasi penangkapan ikan dan sumber daya alam kelautan lainnya maupun pengawasan. Saat ini, walaupun belum efektif pengawasan kepatuhan dilakukan oleh kementerian teknis dan pemerintah daerah. Mereka sudah memiliki perangkat pengawasan dan keahlian seperti pengawas perikanan (KKP), pengawas kelautan (KKP) dan pengawas lingkungan hidup (KLHK).
· Ketiga, perubahan pada pengawasan kepatuhan dengan adanya perubahan kewengan perizinan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan melakukan dan bagaimana caranya pengawasan dilakukan, serta siapa yang memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi.
· Keempat, perubahan orientasi dan materi penegakan hukum dengan menghapus pasal-pasal pidana yang ada; dan merubah konsep pemidanaan dari sanksi pidana yang tidak harus sebagai jalan terakhir menjadi sanksi pidana sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) setelah upaya penegakan hukum lainnya tidak efektif. Mas Achmad Santosa menegaskan bahwa serious crime tidak dapat diberlakukan konsep ultimum remedium ini. Ultimum remedium hanya bisa diterapkan pada delik formal atau strict liability offence (minor offence) yang ancaman hukumnya ringan, yaitu denda pidana.
· Kelima, perubahan ketentuan nelayan kecil dimana tidak lagi didefinisikan berdasarakan ukuran GT kapalnya.
Selain lima perubahan tersebut, dari sisi lingkungan, ada perubahan ketentuan AMDAL yang juga mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan. Perubahan ini membuat kriteria AMDAL menjadi tidak jelas dan menghapus komisi penilai AMDAL yg berdampak pada keterbatasan ruang dan peluang partisipasi publik pada proses AMDAL. Santosa berpandangan bahwa omnibus law sangat berbahaya jika diterapkan secara multi-diverse subject seperti omnibus law UU CK ini. Ominibus law yang diterima dalam praktek di negara lain adalah omnibus law yang single subject (satu tema).
Paling tidak ada dua kelemahan dari omnibus law yang multi dan complex subject seperti RUU CK ini: (1) multi & diverse subject menyebabkan kelompok kritis dalam parlemen (oposisi) dan masyarakat luas (stakeholders) sulit dan terbatas memberikan masukan secara spesifik, rinci, dan bermakna; (2) peluang yang sangat besar terjadi penyelundupan pasal-pasal yang membela kepentingan kelompok-kelompok tertentu, bahkan yang tidak terkait dengan tema besar RUU.
Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, M Zulficar Mochtar memetakan resiko dari usaha perikanan tangkap sebagai kegiatan yang beresiko tinggi (high risk), khususnya untuk yang menangkap di laut teritorial maupun ZEE Indonesia. Sementara, untuk aktivitas penangkapan ikan perairan pedalaman atau danau dipetakan memiliki resiko yang rendah (low risk). Selain dengan izin, Zulficar berpendapat terdapat instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk mengawasi kepatuhan pelau usaha, seperti logbook (catatan hasil tangkapan), Surat Persetujuan Berlayar, dan VMS (pantauan pergerakan kapal).
Zulficar juga menegaskan pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) adalah prinsip yang diguakan sebagai basis dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Selain itu, pengelolaan perikanan juga mengadopsi affirmative policy yg bertujuan untuk lebih mensejahterakan nelayan kecil yg mendominasi struktur penangkapan ikan di Indonesia (94%). Beberapa hal disebutkan yang merupakan tantangan dari sektor kelautan dan perikanan, yaitu kepatuhan pelaku usaha yang masih perlu ditingkatkan, perbaikan pendataan ikan supaya tidak terjadi unreported fishing, maupun peningkatan fasilitas pelabuhan perikanan di daerah yang belum optimal.
Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan potensi ekonomi penangkapan ikan mengingat dari MSY stok ikan yang berjumlah 12,54 juta ton, produksi perikanan blm mencapai Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) / 80% dari MSY. Hal yang menjadi catatan, usaha perikanan tangkap masih dikuasi oleh beberapa pemain saja (oligarki di bidang perikanan).
Sedangkan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, TB Haeru Rahayu menyampaikan illegal fishing dan destructive fishing masih menjadi tantangan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Ia menyampaikan pentingnya pemberantasan kedua hal tersebut demi mencapai sustainable fisheries management. TB Haeru menyampaikan bahwa pendekatan RBA akan memudahkan pengawasan, karena pengawasan dapat difokuskan untuk kegiatan dengan resiko yang tinggi dan pengawasannya memerlukan kerjasama dengan institusi lainnya, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla). TB mengatakan DJPSDKP KKP akan menerapkan strategi berupa sosialisasi, edukasi, dan campaign dalam menghadapi tantangan tersebut. Dalam kaitannya dengan illegal fishing dan destructive fishing KKP akan menindak tegas.
Sementara dari sisi akedemisi, Prof Indra Jaya (IPB) mempertanyakan semangat RUU CK apakah mengarah pada sustainable development goals, mengingat meskipun ikan adalah reneweable resources namun bukan berarti eksploitasi ikan dilakukan tanpa kendali. Kelautan dan perikanan merupakan sektor yang kompleks sehingga dalam memasukan kedua materi tersebut ke dalam satu undang-undang, jangan sampai melupakan hal-hal yang esensial, seperti misalnya peran Komnas Kajiskan untuk menghitung (i) besar tekanan atas kegiatan penangkapan dan (ii) kondisi biologi perikanan agar dapat pulih kembali. Komnas kajiskan memiliki data yang memperlihatkan kondisi stok ikan pada wilayah tertentu dan dapat menjadi acuan bagi aparat penegakan hukum untuk memprioritaskan critical area pengawasan. Selain itu, Prof Indra juga mengkhawatirkan akan munculnya konflik antara pemerintah pusat dan daerah akibat penarikan kewenangan ke pemerintah pusat. Ia merekomendasikan supaya pihak yang berkepentingan terus melakukan konsolidasi masukan terhadap RUU CK dari segi perikanan, kelautan, maupun pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pakar hukum laut muda, Stephanie Juwana dari Director of International Advocacy and Policy Reform IOJI menyampaikan bahwa pengelolaan perikanan harus didasarkan pada keseimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi agar sumber daya tersebut dapat dinikmati oleh generasi sekatang dan mendatang dengan pemerataan dan keadilan. Kaitannya dengan sustainable development, Indonesia masih memiliki tantangan yang besar dalam pemenuhan sustainable development goals (SDG).
Stephanie menyampaikan bahwa performa Indonesia dalam mencapai SDG 14 (life below water) masih dalam kategori orange (significant challenge), serta SDG 16 (peace and justice) masih merah (major challenge). Padahal, SDG 16 merupakan kunci atau tombak dari pemenuhan semua SDGs lainnya. Kinerja penegakan hukum merupakan bagian dari SDG 16 ini. Di segi penegakan hukum, Stephanie menyoroti bagaimana pengawasan akan dilakukan seluruhnya oleh pemerintah pusat merupakan beban tanggung jawab yang terlalu besar.
Rekomendasi yang diberikan adalah, pemerintah daerah diberikan peran untuk pengawasan kemudian diberlakukan sistem oversight yaitu pemerintah pusat memiliki kewenangan melakukan step in apabila pemerintah daerah tidak melakukan peran pengawasannya. Stephanie, menambahkan bahwa rendahnya sanksi administratif dapat menghambat efektivitas penegakan hukum. Salah satu kriteria efektivitas penegakan hukum adalah sanksi dapat merubah perilaku pelaku (behaviour change) setelah dijatuhkan sanksi, dan salah satu tujuan sanksi adalah mencegah adanya pengulangan pelanggaran di masa depan.
Stephanie menjelaskan bahwa sanksi administratif dengan denda rendah tidak akan memenuhi kriteria dan tujuan sanksi tersebut karena keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ilegal jauh lebih besar dari sanksinya. Selain itu, Stephanie mengingatkan agar penjatuhan sanksi administratif jangan sampai mengesampingkan sanksi pidana terhadap tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelanggaran di sektor kelautan dan perikanan, seperti pemalsuan dokumen, penyuapan, dan tindak pidana perdagangan orang.
Sementara mantan petinggi KPK, Laode M Sjarief sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan, menjelaskan bahwa beberapa tindak pidana tidak dapat ditindak dengan sanksi administratif karena akan bertentangan dengan tujuan hukuman itu sendiri. Contohnya, Pasal 93 ayat (2) UU Perikanan. Pada RUU Cipta Kerja, pasal tersebut merubah sanksi pidana menjadi sanksi administrasi terhadap kapal asing yang beroperasi di ZEE Indonesia tanpa perizinan berusaha. Hal ini akan sulit diterapkan mengingat tahapan sanksi administrasi pada umumnya diawali dengan teguran, yang mana sulit diterapkan untuk kasus kapal asing. Selain itu dalam RUU CK juga tidak menyebutkan pengadilan mana yang akan melakukan penegakan terhadap sanksi administrasi tersebut. Selain itu, RUU CK dinilai bukan merupakan rancangan peraturan yang baik karena masih membutuhkan implementing regulations dalam pelaksanaanya. Banyaknya amanat implementing regulations tersebut akan mengurangi fungsi legislatif sehingga membuat Presiden menjadi otoriter. Sjarief merekomendasikan sebaiknya RUU omnibus law membatasi pengaturannya pada hal-hal yang sejenis, misalnya ketenagakerjaan saja. Kemudian, ia merekomendasikan pembahasan RUU Cipta Kerja ini ditunda pada masa pandemic COVID-19.
Akademisi dari UKI, Posma S.J.K Hutasoit, menyebutkan bahwa tujuan dari penyelenggaraan negara adalah untuk kesejahteraan. Apabila investasi meningkat namun rakyat tidak sejahtera maka tujuan tersebut berarti tidak tercapai. Ia mencatat 4 (empat) poin yang menghalangi tercapainya kesejahteraan masyarakat, yaitu:
· perbedaan pandangan setiap pemangku kepentingan (asimetric information),
· moral hazard antara pelaku ekonomi dan regulator,
· faktor eksternalitas dimana pemerintah tidak dapat memungut bayaran dari hasil tangakapan ikan yang unreported, dan
· market power dikuasai oleh oligarki. Posma mencatat bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi meningkat di saat pemerintah daerah yang merupakan pihak di lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat kewenangan perizinan dan pengawasannya dicabut. Posma juga berpendapat bahwa salah satu dampak dari RUU Cipta Kerja yang dapat terjadi adalah terbentuknya market power yang besar dimana sumber daya akan dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi tertentu dan memunculkan oligarki dan oligopoli ekonomi. Akibatnya, RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan bagi kalangan tertentu yang memiliki power tersebut.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menekankan bahwa RUU Cipta Kerja tidak memprioritaskan kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat pesisir dan nelayan kecil. Susan menyoroti beberapa Pasal di RUU Cipta Kerja seperti Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 17, Pasal 17, Pasal 26A. Pasal tersebut menghilangkan ukuran kapal dalam definisi nelayan kecil yang berkonsekuensi pada hilangnya identitas nelayan dan blunder dalam pemberian fasilitas khusus dari pemerintah. Selanjutnya, ketentuan tersebut juga bentuk perampasan ruang bagi masyarakat pesisir dimana pada kasus gempa di Palu daerah tersebut ditinjau kembali untuk menjadi zona merah, namun disisi lain di saat yang sama Pemerintah Daerah menerapkannya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). RUU Cipta Kerja membuat masyarakat persisir dan nelayan tradisional menjadi semakin jauh untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan yang berdampak pada mereka, salah satu contohnya adalah pada perencanaan zonasi. Susan juga mencatat adanya pasal baru yang berfungsi sebagai pintu masuk investor untuk melakukan aktivitas bisnis yang menggusur nelayan (pemerintah pusat dapat memberikan izin pada proyek nasional yang bersifat strategis namun belum masuk RZWP3K).
Sementara dari WALHI, Edo Rahman menyampaikan bahwa pembahasan RUU CK ini tidak layak diteruskan. Sudah banyak kajian yang menyebutkan bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam RUU CK bermasalah sehingga pada teknisnya nanti juga akan bermasalah. Selain itu, Edo juga menekankan kembali adanya upaya untuk meminimalisir partisipasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
Jurnalis Harian Kompas, Lukita Grahadyarini, menyoroti adanya transisi dari era penegakan hukum menjadi era kemudahan, percepatan dan industrialisasi di sektor kelautan dan perikanan saat ini. RUU Cipta Kerja memberikan kelonggaran pengaturan sanksi terhadap regulasi terkait perikanan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ia menyoroti agar RUU CK tidak membuka celah-celah pelanggaran baru dan concern terhadap fungsi kontrol/pengawasan.
Sumber: Indri Luxviyanto, Yolanda Parede dan KORAL
Grafis Desain: Puti Andini Setyaningsih
Comments