top of page
Gambar penulisGeoffrey Meyssonnier

Kian Langka Si Ikan Sidat, Jangan Sampai Tinggal Riwayat



Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu


Sepenggal lagu Koes Plus itu barangkali masih sangat cocok dengan kenyataan satu atau dua dekade lalu. Kala itu, cukup dengan bekal kail dan pancing, maka ikan-ikan akan dengan mudah menghampirimu.


Hari-hari ini kondisinya tak lagi sama. Kita kerap kali mendengar ikan-ikan tertentu mulai langka. Eksploitasi berlebihan, tak terawatnya ekosistem laut, hingga penyelundupan bibit berbagai jenis bioata laut jadi sederet biang keladi hasil laut menipis.



Kian merosotnya produksi tersebut salah satunya dialami komoditas ikan sidat. Ikan yang bentuknya mirip belut ini kini sudah masuk kategori ikan langka yang keberadaannya dilindungi. Sidat masuk daftar Apendiks II konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).


Sementara di Indonesia yang notabene sebagai tempat populasi terbesarnya di dunia, sidat berstatus ikan dengan perlindungan terbatas berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020. Data FishStat (2019) menunjukkan produksi sidat nasional dari 2012-2016 turun sebesar 18,24 persen. Dari yang tadinya 2.736 ton menjadi 1.063 ton.


Bila keberadaan sidat ini tak dilestarikan, boleh jadi generasi mendatang hanya dapat membayangkan gurih cita rasa ikan yang jadi primadona di Jepang hingga Eropa itu.


Khawatir akan kepunahan ikan dengan nama latin Anguila Spp ini, juga yang menjadi alasan Susi Pudjiastuti menjadikan koservasi sidat sebagai salah satu program komunitasnya, Pandu Laut Nusantara.


Bukan cuma sidat, salah satu program yang akan terus dijalankan Pandu Laut Nusantara meliputi konservasi berbagai sumber daya alam laut lainnya yang ju ga kini mulai langka. Seperti kima dan belangkas yang bernasib nyaris sama dengan sidat.


Rasa khawatir mulai langkanya sidat kerap disinggung oleh CEO Pandu Laut Nusantara itu. Baik saat masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan sampai sekarang.


“Sekarang makin sulit dapat sidat. Paling-paling belut yg masih banyak. Padahal dulu sidat pepes adalah makanan enak dan sangat bergizi tinggi untuk masyarakat pada umumnya dan dijual di warung-warung makan. Sekarang hanya ada di resto-resto Jepang, makanan untuk kalangan tertentu saja,” tulis Susi di akun Twitter pribadinya.


Cuitan tersebut mendapat banyak tanggapan dengan keluhan senada. Akun @andreeSrwbw salah satunya yang menceritakan pengalamannya merasakan sendiri betapa mudah dulu mendapatkan sidat.


“Benar Bu, dulu di sungai belakang rumah saya, Kang Mariyo Kempes setiap habis magrib membawa 2-3 ekor dari sungai hasil memancing,” ujarnya.


“Orang yang menjual bibit lobster ini cerita ke saya juga menjual sidat ke Jepang atau restoran Jepang. Nyarinya di Sungai Cimandiri, Sukabumi,” timpal akun @chairulachir.


Susi mengungkapkan, kelangkaan sidat salah satunya terjadi karena perburuan terhadap glass eel (benih sidat). Alih-alih dengan kedok budidaya, bibit tersebut justru diekspor ke luar negeri.


“Ikan sidat sudah masuk Cites apendix 2 mendekati punah. Juga karena glass eel diburu besar-besaran dengan alasan dibudidaya tapi ujungnya di ekspor ke luar. Akhirnya makin langka, sebentar lagi punah. Glass eel juga sudah dilarang lama sejak Menteri KP sebelum saya, tapi penyelundupan terus jalan,” ujar Susi.


Tak mau keberadaan sidat tinggal riwayat, Susi bersama Pandu Laut Nusantara memulai langkah melepasliarkan sidat. Kegiatan ini sudah ia mulai dari kampung halamannya, Muara Cileutik, Pangandaran.


Dalam kegiatan yang dilakukan pada pertengahan Desember 2021 itu, Pandu Laut Nusantara juga melepasliarkan belangkas hingga menanam sebanyak 5.000 bibit bakau.



“Kita barangkali harus belajar untuk lebih menghargai dan lebih melindungi plasma Nutfah kita. Tidak lucu kalau suatu hari kita harus beli dari negara lain,” ucap pendiri maskapai Susi Air itu.

116 tampilan0 komentar

コメント


bottom of page