Penerapan prinsip ekonomi biru dalam setiap pembangunan di wilayah pesisir dan laut oleh Pemerintah Indonesia, diklaim sebagai prinsip ideal dan terbaik untuk saat ini.
Namun, prinsip tersebut mendapatkan banyak kritikan dan penilaian yang tidak tepat. Hal itu diungkap oleh Transparency International Indonesia melalui sebuah analisis atas kebijakan yang sudah dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang ekonomi biru.
Analisis tersebut dibuat bersama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Pusat Studi Agraria.
Berdasarkan analisis tersebut, ekonomi biru adalah konsep ekonomi yang bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip alami dan lokal.
Konsep ini lebih maju daripada ekonomi hijau, karena sepenuhnya berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan bertujuan untuk mentransformasi sistem ekonomi secara menyeluruh.
Selain itu, konsep ini juga mencakup nilai spiritual dan filosofis yang dalam mengenai penghormatan terhadap lingkungan dan bumi, serta memperkuat subjek dan ekonomi lokal melalui pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.
Adapun keberhasilan implementasi Ekonomi Biru yang benar-benar adil dan berkelanjutan tergantung pada partisipasi organik dari subjek seperti nelayan kecil, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta masyarakat adat dan perempuan nelayan yang diatur oleh UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Untuk mewujudkan konsep ini, diperlukan ekosistem regulasi dan kebijakan yang mendukung, yang sejauh ini masih terbatas pada narasi pertumbuhan biru (Blue Growth) yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata.
Sementara itu, kebijakan semacam ini rentan terhadap praktik Blue Grabbing yang dapat merampas sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menerangkan, jika praktik ekonomi biru masih terus didorong untuk diterapkan oleh Pemerintah, maka diperlukan koridor pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang transparan, adil, dan berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan Ekonomi Biru, dibutuhkan kebijakan yang konsekuen dalam melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, yang memprioritaskan pemerataan dan kemakmuran bagi rakyat bahkan prinsip dasar ekonomi biru yakni menerapkan ekonomi sirkuler.
Kendati demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, hanya bisa dilakukan jika Pemerintah mengikuti rambu-rambu kebijakan ekonomi biru, yaitu:
Pertama, bagaimana Pemerintah bisa mengutamakan subjek utama pelaku ekonomi biru adalah nelayan kecil, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kedua, bagaimana Pemerintah bisa mengimplementasikan konsep ekonomi biru yang transparan dan adil melalui kemudahan akses data yang mutakhir, dan terintegrasi dengan sistem informasi. Mengingat, saat ini sumber data yang ada terkesan tidak bermuara pada satu pintu dan terintegrasi antar Kementerian/Lembaga serta pemangku kepentingan.
Ketiga, bagaimana Pemerintah bisa memastikan mekanisme pengawasan end to end yang partisipatif dan penegakan hukum dalam kebijakan ekonomi biru bisa berjalan baik. Rambu ini berjalan mulai dari pengawasan ketat terhadap pintu perizinan yang diberikan pada pelaku usaha dan investor dalam negeri maupun asing.
Sehingga, pengawasan terhadap prinsip ketertelusuran skema pajak yang adil bagi nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar, hingga proses evaluasi dan uji tuntas terhadap keberlanjutan tata kelola kelautan dan perikanan.
Keempat, bagaimana Pemerintah bisa mendorong tata kelola pemanfaatan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, sekaligus bisa mengakomodir kearifan lokal. Rambu ini merujuk pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan meminta Pemerintah untuk memastikan pembangunan ekonomi didasarkan pada asas pemerataan.
Hal itu disimpulkan bahwa pembangunan dilaksanakan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan kemakmuran rakyat. Bukan didasarkan pada kepentingan investasi dan prinsip pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif saja, lalu berujung munculnya perampasan ruang dan hak kearifan lokal.
Moh. Abdi Suhufan menyebutkan, implementasi ekonomi biru yang transparan perlu diterapkan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan.
Kemudian, ekonomi biru juga perlu berpihak pada keberlanjutan ekosistem, serta sumber daya kelautan dan perikanan tangkap maupun budi daya yang ada dengan prioritas kesejahteraan dan kearifan lokal.
Selain Abdi, kebijakan yang berisi analisis tersebut juga disusun bersama dengan Peneliti Agraria Maritim dari Pusat Studi Agraria IPB University Ari Wibowo, dan Peneliti Transparency International Indonesia Bellicia A.
Ari Wibowo menerangkan, munculnya konsep ekonomi biru di Indonesia, bermula dari penetapan target Pemerintah untuk mendorong pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030, dengan target dukungan internasional hingga 43,20 persen.
Target tersebut ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru. Untuk mendukung hal tersebut, KKP menetapkan lima program prioritas untuk penerapan ekonomi biru.
Kelimanya adalah perluasan target kawasan konservasi perairan; penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota; pengembangan budi daya perikanan ramah lingkungan, khususnya untuk komoditas unggulan ekspor seperti udang, kepiting, rumput laut, dan lobster.
Kemudian, pengelolaan berkelanjutan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan terakhir adalah penanganan sampah plastik di laut melalui program Bulan Cinta Laut. Semua program prioritas tersebut selalu dikampanyekan sejak setahun terakhir ini.
Bellicia A juga mengungkap, kalau Pemerintah berani menyebutkan ekonomi biru sebagai kerangka kerja yang bisa menuntaskan permasalahan dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan.
Kerangka tersebut menjadi penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) 2020-2025, dan RPJ Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Sumber: Mongabay
Commentaires