top of page
Gambar penulisPandu Laut Nusantara

Pencemaran Laut Batam Kembali Terjadi Akibat Tumpahan Minyak Hitam

Diperbarui: 23 Des 2022


Tumpahan minyak hitam terdapat di depan galangan kapal di Tanjung Uncang. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Tumpahan minyak hitam kembali cemari laut di Pulau Lima, Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam. Akibatnya berdampak kepada biota-biota laut, serta hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang.


“Habis semuanya, mana ada lagi ikan di laut, telur-telur udang akan mati, siapa yang mau disalahkan terhadap kerusakan ini,” ujar Mohammad Sapet (57 tahun) nelayan Pulau Buluh.


Adapun titik tumpahan minyak tersebut tepat berada di depan PT Pax Ocean, Tanjung Uncang yang kemudian dalam radius beberapa meter minyak hitam tersebar ke beberapa perairan lainnya.


“Pulau-pulau kecil sekitar galangan ini juga terdampak,” kata Sapet.


Sapet mengatakan, ketika ditemukan pertama kali petugas perusahaan sedang membersihkan minyak-minyak itu.


Selain itu, ia menambahkan, jelas sekali minyak hitam ini, sangat berbahaya untuk biota laut. Ikan bisa mati, karang rusak, pantai-pantai tercemari, juga membuat tumbuhan mangrove di sekitar akan rusak.


“Mangrove-mangrove yang baru tumbuh pasti akan mati, kalau sudah terkena ini,” katanya.


Sapet berharap laut kembali bersih, sehingga habitat di dalamnya bisa berkembang. Kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi setiap tahunnya, namun pelaku tidak pernah ditangkap.


“Ini tentu menurunkan hasil tangkapan nelayan,” katanya.


Anggota DPRD Kota Batam Arlon Veristo mengatakan, dugaan tumpahan minyak berasal dari PT Pax Ocean, karena temuan di lapangan sludge oil tepat berada di bawah dermaga galangan kapal perusahaan tersebut.


“Memang (hasil sidak) kita temukan minyak hitam itu berserakan di laut di bawah dermaga mereka (Pax Ocean), infonya dari safety (pihak perusahan) bukan dari mereka, tetapi memang bisa saja diduga dari mereka, karena ada di dermaga mereka, diduga itu kan bisa saja,” kata Arlon.


Adapun dugaan itu didasari karena tumpahan minyak hitam banyak terdapat di bawah dermaga Pax Ocean, dan di sekitaran PT Pax Ocean.


“Karena ini sangat berdampak kepada masyarakat kecil (nelayan) dan juga merusak ekosistem laut kita,” kata Arlon.


Namun bagian Health, Safety, and Environment (HSE) PT Pax Ocean Mohammad Syukri mengaku minyak hitam bukan berasal dari aktivitas perusahaan PT Pax Ocean. Syukri sudah melaporkan ke KSOP dan Polair terkait tumpahan minyak tersebut.


“Tumpahan oli tersebut sumbernya bukan dari Pax Ocean,” katanya melalui pesan singkat WhatsApp.


Syukri mengatakan, perusahaan juga terdampak dari tumpahan minyak itu sehingga juga melakukan pembersihan. “Jadi Pax Ocean kena imbas dari oli hitam yang hanyut dari luar,” katanya.


Sementara itu, Kepala Bidang Keselamatan Berlayar, Penjagaan, dan Penegakan Hukum KSOP Amir Makbul mengatakan, sampai saat ini belum diketahui sumber pasti asal minyak hitam itu.


“Kita sudah turunkan 2 kapal Patroli KSOP bersama instansi lainnya. Penanggulangan saat ini dengan Oil Absorbent,” katanya.


Adapun beberapa kejadian tumpahan minyak yang tercatat di Kepri sebagai berikut:

1. Pulau Lima, Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam (30/112022).

2. Wilayah Nuvasa Bay dan Nongsa Pantai, Pantai Utara Pulau Batam (3/1/2021).

3. Perairan Pulau Belakangpadang, Kota Batam (16/11/2019).

4. Perairan Pulau Kubung Kelurahan Ngenang Kecamatan Nongsa, Batam (10/4/2018).

5. Pantai Nongsa (26/1/2017).

6. Pantai wisata Tanjung Pinggir, Sekupang, Batam (25/1/2016).

7. Pantai di Kawasan Wisata Nongsa, sebelah utara Pulau Batam (20/4/2015).


Tumpahan minyak selalu muncul pada akhir dan awal tahun, penyebabnya diakibatkan oleh adanya arus angin utara dan aktivitas lalu lintas kapal di perairan Batam yang meningkat, sehingga tumpahan minyak hitam tersebut diduga berasal dari kapal yang sedang beraktivitas di perairan tersebut.


Sementara itu, ditilik jika limbah kapal diproses daur ulang melalui lembaga resmi, biayanya sangat besar, sehingga ada banyak kapal tanker nakal yang membuang limbahnya langsung ke laut tanpa adanya biaya.


Mengutip laman resmi Pusat Riset Kelautan, Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo mengungkapkan, wilayah Batam tak ada sumur pengeboran atau kilang minyak sehingga sumber pencemaran lebih banyak dari kapal melintas.


"Pencemaran minyak di pantai Batam dan Bintan terjadi hampir tiap tahun sejak 1970-an," ujarnya.


Berdasarkan analisis data satelit, 9 Januari 2017, ada area tercemar minyak seluas 13,6 kilometer persegi di sekitar perairan di Teluk Singapura. Saat itu terdeteksi kapal tanker melintas di sekitar lokasi.


Adapun sejak tahun 1970-an, Batam sudah dijadikan basis industri migas oleh Pertamina. Dikutip dari PORTONEWS, terdapat 36 perusahaan hilir migas yang beroperasi di Batam. Sementara di Provinsi Kepulauan Riau, terdapat 15 perusahaan hulu migas yang beroperasi di Natuna dan Anambas.


Namun Batam bukan menjadi tempat kapal-kapal besar untuk mengisi bahan bakar dan logistik, karena Batam belum memiliki fasilitas tersebut. Kapal-kapal tanker biasanya mengisi bahan bakar dan logistik di Singapura atau Malaysia.


Per Desember 2017, tercatat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Kepulauan Riau mencapai 1.150 kilo liter per hari. Dari jumlah itu sekitar 70% merupakan konsumsi BBM di Batam. Batam juga sangat dekat dengan jalur lalu lintas minyak dunia.


Kris Taenar Wiluan, Chairman Citramas Group yang juga memproduksi peralatan berat migas seperti rig, mengatakan bahwa 70% transportasi minyak dunia dilakukan melalui Selat Malaka. Saat ini, setiap hari tidak kurang dari 300 kapal berukuran raksasa lalu-lalang di Selat Malaka.


Selain itu, menurut jurnal yang diterbitkan Jurnal Selat dengan judul "Peran Pemerintah Daerah dalam Mengoptimalisasi Penanganan Pencemaran Lingkungan di Wilayah Pesisir Kota Batam" menyimpulkan, perkembangan industri alih kapal di Batam mengalami kemajuan yang sangat pesat. Apalagi setelah beberapa perusahaan galangan kapal di Singapura pada 2005 merelokasi usaha mereka ke Batam.


Puluhan perusahaan galangan kapal diusir dari Singapura karena melakukan pencemaran, pada 2005. Sampai dengan 2010, terdapat penambahan 38 perusahaan galangan kapal yang sebagian besar berasal dari Singapura.


Hal seperti ini merupakan hal yang serius, karena pencemaran tersebut berdampak kepada laut serta biota-biotanya, dan nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut.


Sampai saat ini tidak diketahui pelaku di balik tumpahan minyak tersebut, termasuk pemerintah juga belum mengungkap pelaku pencemaran di perairan Batam.


Sumber: Mongabay.

42 tampilan0 komentar

Commentaires


bottom of page