Lamun merupakan salah satu ekosistem karbon biru (blue carbon) di wilayah pesisir yang didominasi vegetasi lamun (angiosperm). Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati padang lamun dunia dan memiliki 5%-10% luas padang lamun dunia.
Tanaman laut ini adalah salah satu penyerap karbon paling efisien: satu kilometer persegi lamun mampu menyimpan karbon hampir dua kali lebih banyak daripada hutan.
Pada Mei 2022, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi A/RES/76/265 yang menyatakan bahwa 1 Maret sebagai Hari Lamun Sedunia (World Seagrass Day).
Adapun lamun adalah tanaman berbunga laut yang ditemukan di perairan dangkal di banyak bagian dunia, dari daerah tropis hingga lingkaran Arktik. Mereka membentuk padang rumput bawah air yang luas, menciptakan habitat yang kompleks, sangat produktif, dan kaya secara biologis.
Walaupun hanya meliputi 0,1% dari dasar laut, padang lamun menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi ribuan spesies ikan, kuda laut, penyu, dan lain-lain.
Selain itu, lamun juga dapat meningkatkan kualitas air dengan menyaring, mendaur ulang, dan menyimpan nutrisi dan polutan.
Hal ini menjadikannya solusi berbasis alam yang kuat untuk mengatasi dampak perubahan iklim, karena melindungi pengasaman laut, lamun berkontribusi pada ketahanan ekosistem dan spesies yang paling rentan, seperti terumbu karang.
Bagi penduduk pesisir, lamun bertindak sebagai garis pertahanan pertama di sepanjang pesisir dengan mengurangi energi gelombang, melindungi manusia dari meningkatnya risiko banjir dan badai.
Di samping itu, penyerapan dan penyimpanan karbon akan mendorong upaya di seluruh dunia agar melestarikannya, mengelola dan memulihkan ekosistem ini dengan lebih baik.
Hal demikian dikarenakan, kapasitas penyimpanan dan penyerapan karbon ekosistem lamun, memasukkannya ke dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dapat membantu negara-negara mencapai target mereka di bawah Perjanjian Paris dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pernah mengakui kalau ekosistem padang lamun belum mendapatkan perhatian seperti yang didapatkan oleh ekosistem mangrove. Meskipun, lamun menjadi bagian dari tiga ekosistem penting di kawasan pesisir, selain mangrove dan terumbu karang.
Peneliti Biogeokimia Laut BRIN A’an Johan Wahyudi menyebutkan, padang lamun seluas 293.464 ha di Indonesia memiliki kemampuan menyerap CO2 hingga 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun.
“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di darat,” ungkap dia menjelaskan hasil penelitian yang pernah dilakukan BRIN.
Secara umum, padang lamun yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbon, masih didominasi oleh dua jenis lamun, yakni Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kedua jenis lamun tersebut menjadi tumpuan karena memiliki nilai cadangan karbon yang besar.
Cadangan karbon pada lamun itu tersimpan pada substrat yang ada di bawah permukaan pasir laut dan menyatu dengan akar lamun. Cadangan tersebut, mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan karena berbagai hal.
Kendati demikian, walaupun potensi padang lamun masih sangat besar, pengelolaannya sampai saat ini masih belum bagus. Salah satu buktinya, adalah masih rendahnya penelitian tentang padang lamun di Indonesia.
Sumber: darilaut.id, Mongabay
Comentarios