Agenda ekonomi biru yang diusung dalam konferensi laut global PBB dinilai cenderung mendorong perampasan ruang laut. Strategi tersebut juga disebut bakal merugikan masyarakat pesisir dan adat.
Ancaman ini disampaikan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi IFP (Indonesia Focal Point for Corporate Accountability). Penyusunan tata kelola laut dunia didominasi oleh intervensi kepentingan korporasi multinasional yang hendak memonopoli sumber daya laut seluas-luasnya.
Peneliti Transnational Institute Carsten Pedersen menilai, sektor ekonomi kelautan global bakal menjadi hanya dikendalikan 100 perusahaan transnasional yang mayoritas bergerak dalam bidang minyak dan gas lepas pantai serta industri perkapalan.
"Mereka banyak berbicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru. Bahkan, mereka membentuk Blue Action Fund sebesar USD 1 Miliar. Ini sebenarnya hanya akan menjadi 'Blue-Washing' dan semakin melegitimasi lepasnya tanggung jawab korporasi terhadap hak-hak masyarakat korban yang terlanggar dan kerusakan lingkungan serta punahnya ekosistem laut yang ditimbulkan,” tegas Carsten.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanudin mengatakan, di Indonesia pun tata kelola laut condong disusun mengutamakan kepentingan korporasi skala besar.
Kebijakan di bawah payung ekonomi biru yang sangat menguntungkan korporasi, yaitu penangkapan ikan terukur. Kebijakan ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang akan memberikan karpet merah kepada korporasi skala besar, untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan.
"Padahal jika merujuk pada status pemanfaatan sumber daya ikan, statusnya merah dan kuning. Artinya sumber daya ikan Indonesia sudah fully exploited dan over exploited. Kebijakan yang didorong pemerintah seharusnya memulihkan bukan mendorong eksploitasi," pungkasnya.
Sumber: Siaran pers Walhi.
Comments