JAKARTA (Pandu Laut) – Kebijakan untuk menenggelamkan kapal-kapal yang mencuri ikan di laut Indonesia kembali menjadi polemik. Menteri Edhy mengatakan bahwa sebaiknya kapal-kapal tersebut jangan ditenggelamkan namun diserahkan ke sekolah-sekolah. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan pandangan IOJI dan Walhi. Berikut hasil wawancara dengan Pandu Laut.
“Kapal sitaan masih besar peluangnya untuk direbut kembali oleh pemilik aslinya, apalagi kalau penegak hukumnya bisa dilobi atau negosiasi; boro-boro untuk nelayan. Beda kalau objeknya sudah rusak dan tenggelam di dasar laut,” ujar Koordinator Kampanye WALHI Nasional, Edo Rakhman.
Edo juga menyatakan tidak setuju jika kapal diserahkan ke sekolah.
“Barang sitaan jadi bahan belajar anak-anak sekolah perikanan? Tidak modal banget ya negara kita. Mau mengedukasi generasi penerus bangsa dengan barang sitaan. Mending kalau petunjuk-petunjuk dalam kapal sitaan itu pakai bahasa Inggris atau Indonesia, bagaimana kalau pakai bahasa China, Vietnam atau Thailand?" ujarnya lagi.
Kapal Ikan Asing atau KIA yg menangkap ikan di wilayah laut NKRI merupakan armada Distant Water Fishing Fleets (DWFs) yang dimiliki oleh korporasi dan didukung oleh negaranya untuk memenuhi ambisi menjadi pengekspor terbesar ikan di dunia. China pengekspor terbesar nomor 1 dan Vietnam nomor 3. Laut yang dimiliki China hanya 3,7 juta KM² dan luas laut Vietnam tidak sampai setengah juta km². Itupun keduanya sudah berada dalam status chronic overfishing. Luas laut Indonesia sangat luas yaitu 6,4 juta Km², dengan potensi yang besar. Sehingga kapal-kapal ikan Tiongkok, Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Vietnam memanfaatkan luas laut dan kekayaan laut kita. Kita harus jaga ini.
Sementara itu CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa perbuatan KIA Vietnam dan KIA Tiongkok di WPP 711 didukung sepenuhnya oleh negara melalui pengawalan dan perlindungan kapal-kapal coast guard dan VRFS (Kementerian Perikanan) mereka. Artinya perbuatan mereka adalah bentuk kejahatan yang terorganisir. Saking terorganisirnya kejahatan mereka, kapal-kapal ikan asing yang tertangkap dapat kembali lagi kepada jaringan kejahatan tersebut. Bagaimanapun caranya, mereka memenangkan lelang tersebut. Banyak kita temui di lapangan, KIA negara X ditangkap ternyata kapalnya pernah sebelumnya ditangkap dengan bendera negara Y. Kapal Ikan sebagai barang bukti kejahatan diputus oleh pengadilan "diserahkan kepada negara". Tindak lanjut dari amar putusan semacam ini biasanya dilelang. Jaringan kejahatan ini hampir selalu memenangkan lelang. Ini membuktikan jaringan kejahatan pencurian ikan oleh KIA memiliki orang-orang di Indonesia yang bekerja secara rapi untuk melanggengkan operasi ilegal mereka.
“Menurut saya sebagai bangsa besar dan terhormat tidak pantas kita memberikan kapal kapal hasil kejahatan terorganisir kepada nelayan kita dan kepada siswa untuk latihan praktek. Tunjukan sbg bangsa besar dg cara menghukum dengan setinggi tingginya, termasuk penenggelaman. Kejar jaringan korporasinya dan kejar pengendali kegiatannya. Apabila perlu tenggelamkan langsung di laut KIA tersebut yang memang dibolehkan oleh UU Perikanan kita setelah kita amankan ABK asing tersebut. Pemerintah harus mampu menerapkan tindakan hukum yang menimbulkan efek gentar termasuk penenggelaman,” kata Mas Achmad Santosa.
Sementara itu, Pada 14 Mei 2019, mantan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti pada Mongabay.id berkata:
“Menenggelamkan kapal ini kesannya serem, kesannya jahat, tapi merupakan way out yang paling cantik untuk menyelesaikan permasalahan IUU Fishing di negeri kita. Kalau tidak, mau berapa tahun permasalahan IUU Fishing akan bisa diselesaikan?” jelas Susi.
Reporter: Bastian Saputra Pinang, Yolanda Parede
Editor: Regina Safri
Comments